Langsung ke konten utama

Bidadari: Sesungguhnya...Kesungguhanku Sungguh-Sungguh, bunda



Bilamana kata-kata "cuman main-main" masih terngiang tentu langkah kongkrit menjadi jawaban. Saat purnama datang aku benar-benar bergetar. Ada juga rasa malu. Tahukah engkau bahwa aku belum pernah seperti ini. Ada bahagia saat kilauan itu berseri-seri. --Esode ======= Malam itu benar-benar dingin. Riuh suara jangkrik dan kodok tak ubahnya orkestra. Berkali-kali angin menampar daun telingaku, wuf. Air di petak sawah menari-nari. Pantulan sinar bulan purnama seperti permata penghias penari. ` Di petak sebelahnya ada barisan tanaman padi. Masih hijau segar. Menari mengikuti angin. Suara angin seperti gesekan biola. Di tengah barisan itu terdapat sinar. Lebih bersinar dari berlian. Lebih teduh dari lampu petromak. Mengalahkan sinar bulan. Kiranya aku akan meninggalkan itu? Jika iya, mungkin aku telah kerasukan setan atau kenalaranku patut diragukan. ` Aku perlahan mendekati sinar itu. Sangat pelan, hampir tidak bergerak secara kasat mata. Asal kau tahu, aku melangkah pasti. Sesampai di tempat itu aku terdiam sebentar, lalu mengambil sinar itu. Jika kau ingin tahu rasanya, hangat. Lalu aku kembali ke tepi. ` Inilah rasa bahagiaku kedua. Meski lumpur telah memenuhi dari ujung kaki hingga betis. Sayatan daun-daun padi teramat perih, sebab dipadu dengan keringat. Mudah saja, ada air bersih di ujung kampung. Aku akan membersihkan lumpur itu. Lalu kumasukkan sinar itu ke air. Seperti bongkahan kaca, mungkin orang bilang pertama. Entahlah. ` Akan kubawa sinar itu kepada ibuku. Lalu kita akan merawat bersama supaya tetap bersinar. Bagiku, bukan soal di mana dirawat, tapi bagaimana merawatnya. ` Inikah jelmaan bidadari? ===== Magelang, 29 Oktober 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tak Tahu

Sampai hari ini aku tidak tahu dengan yang aku rasakan. Atau aku tidak mengerti sebenarnya dengan keadaan yang sekarang. Ah, aku benar-benar bingung. Jika engkau #KerlipKaca mulai menjauh atau tidak ingin mengenalkulagi, maka aku akan mengejarmu dengan langkah perlahan. Aku tidak percaya dengan keadaanku saat ini. Entah kenapa perasaan ini tidak pernah surut. Meskipun ada beberapa wanita yang mendekatiku. Jika engkau adalah wanita yang aku harapkan, atau minimal engkau jodoh yang aku harapkan, maka kenapa aku tidak melihat atau merasakan tanda-tanda itu? Ah, dunia memang penuh dengan misteri. Aku merasa tidak ingin meninggalkanmu, meskipun cukup berdaya untuk melakukannya. Rasanya aku ingin bercerita sejak awal. Pada hari itu, kita sering bertemu ketika rapat pengurus sebuah organisasi profesi. Ketika pertama kali bertemu denganmu aku merasakan sesuatu yang berbeda, indah. Melalui matamu yang teduh oleh coretan pinsil hitam--atau sering disebut celak. Sejak saat itu aku sering

Lebur

Perkataan itu adalah resah Doa tak ikhlas terucap Beberapa temaliku lantas terurai Selebihnya aku berpura-pura sabar Berpura-pura tidak terjadi apa-apa Lalu apa yang mampu mengalpakan hampa? Aku pikir prologku semacam doa Beberapa yang kutulis secara tak sadar baru tersadar Berhentikah aku? Semarang, 9 Mei 2018

Palung Tak Berujung

PALUNG TAK BERUJUNG Di hamparan laut ini aku terkapar Aku selalu berharap pada gulungan ombak Buih putih menggelitik pikiran liarku Dari jarak seribu langkah kulihat titik hitam berlarian Ombak nakal memeluknya Cemburu aku dan ingin berlari Menantang kerasnya gelombang Sebab imajinasiku terpatri pada seorang perempuan Mengenakan pakaian hitam Setiap ujung pakaiannya dibawa angin Lihatlah kau ke tepian warna hijau tua itu Segelintir manusia saja yang mampu menaklukannya Lalu lihatlah mataku dan rasakan Tak kan kau temui ujungnya Akan kau rasakan buai pusaran di sana Di sinilah.... Kataku sambil memukul dada Palung tak berujung Yogyakarta, 18 April 2016