Aku mulai bahagia pada apa yang terjadi. Bercumbu dengannya, meski hanyalah bayangan. Aku mencoba senatural mungkin. Menikmati anugerah dari langit. Aku benar-benar tidak peduli besar-kecil, hitam-putih atau halus-kasar. Semua hanyalah cara kita menikmati sebuah anugerah. Persetan dengan ocehan mereka. Aku mulai terbiasa. Tapi...
Aku benar-benar terpukul, sakit. Dua kali lipat. Bak luka baru ditaburi garam. Rasanya untuk kali pertama rasa maafku begitu enggan terlontar. Sungguh pelajaran yang tak baik.
Adakah kekonyolan yang melebihi ini? Aku akan tertawa menahan perih. Menampar berkali-kali wajah sendiri. Meyakinkan apa yang sedang terjadi. Inikah kenyataan atau hanya sekedar mimpi dengan teknologi tujuh dimensi?
Kau bukan bidadari itu. Satu poin meyakinkanku jika kau bukanlah maksudku. Kau meminta aku kembali pada peri jahat itu? Sementara aku membencinya. Sungguh permintaan yang menyakitkan. Merelakanku jatuh ke tangan peri itu. Selanjutnya, aku tidak peduli dengan dalih-dalihmu.
Boleh saja ini disebut hal sepele, tapi semua itu soal persepsi. O, aku tertawa menahan perih. Kau bukan yang kumaksud. Bidadariku.
Selendang curianku akan kukembalikan lagi ke dalam peti. Kusimpan dan kurawat sebaik mungkin untuk engkau kelak, bidadariku.
Magelang, 8 September 2015
Komentar
Posting Komentar