Langsung ke konten utama

Bidadai: Oh, bukan



Aku mulai bahagia pada apa yang terjadi. Bercumbu dengannya, meski hanyalah bayangan. Aku mencoba senatural mungkin. Menikmati anugerah dari langit. Aku benar-benar tidak peduli besar-kecil, hitam-putih atau halus-kasar. Semua hanyalah cara kita menikmati sebuah anugerah. Persetan dengan ocehan mereka. Aku mulai terbiasa. Tapi... 

Aku benar-benar terpukul, sakit. Dua kali lipat. Bak luka baru ditaburi garam. Rasanya untuk kali pertama rasa maafku begitu enggan terlontar. Sungguh pelajaran yang tak baik.

Adakah kekonyolan yang melebihi ini? Aku akan tertawa menahan perih. Menampar berkali-kali wajah sendiri. Meyakinkan apa yang sedang terjadi. Inikah kenyataan atau hanya sekedar mimpi dengan teknologi tujuh dimensi?

Kau bukan bidadari itu. Satu poin meyakinkanku jika kau bukanlah maksudku. Kau meminta aku kembali pada peri jahat itu? Sementara aku membencinya. Sungguh permintaan yang menyakitkan. Merelakanku jatuh ke tangan peri itu. Selanjutnya, aku tidak peduli dengan dalih-dalihmu.

Boleh saja ini disebut hal sepele, tapi semua itu soal persepsi. O, aku tertawa menahan perih. Kau bukan yang kumaksud. Bidadariku.

Selendang curianku akan kukembalikan lagi ke dalam peti. Kusimpan dan kurawat sebaik mungkin untuk engkau kelak, bidadariku.

Magelang, 8 September 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tak Tahu

Sampai hari ini aku tidak tahu dengan yang aku rasakan. Atau aku tidak mengerti sebenarnya dengan keadaan yang sekarang. Ah, aku benar-benar bingung. Jika engkau #KerlipKaca mulai menjauh atau tidak ingin mengenalkulagi, maka aku akan mengejarmu dengan langkah perlahan. Aku tidak percaya dengan keadaanku saat ini. Entah kenapa perasaan ini tidak pernah surut. Meskipun ada beberapa wanita yang mendekatiku. Jika engkau adalah wanita yang aku harapkan, atau minimal engkau jodoh yang aku harapkan, maka kenapa aku tidak melihat atau merasakan tanda-tanda itu? Ah, dunia memang penuh dengan misteri. Aku merasa tidak ingin meninggalkanmu, meskipun cukup berdaya untuk melakukannya. Rasanya aku ingin bercerita sejak awal. Pada hari itu, kita sering bertemu ketika rapat pengurus sebuah organisasi profesi. Ketika pertama kali bertemu denganmu aku merasakan sesuatu yang berbeda, indah. Melalui matamu yang teduh oleh coretan pinsil hitam--atau sering disebut celak. Sejak saat itu aku sering

Lebur

Perkataan itu adalah resah Doa tak ikhlas terucap Beberapa temaliku lantas terurai Selebihnya aku berpura-pura sabar Berpura-pura tidak terjadi apa-apa Lalu apa yang mampu mengalpakan hampa? Aku pikir prologku semacam doa Beberapa yang kutulis secara tak sadar baru tersadar Berhentikah aku? Semarang, 9 Mei 2018

Palung Tak Berujung

PALUNG TAK BERUJUNG Di hamparan laut ini aku terkapar Aku selalu berharap pada gulungan ombak Buih putih menggelitik pikiran liarku Dari jarak seribu langkah kulihat titik hitam berlarian Ombak nakal memeluknya Cemburu aku dan ingin berlari Menantang kerasnya gelombang Sebab imajinasiku terpatri pada seorang perempuan Mengenakan pakaian hitam Setiap ujung pakaiannya dibawa angin Lihatlah kau ke tepian warna hijau tua itu Segelintir manusia saja yang mampu menaklukannya Lalu lihatlah mataku dan rasakan Tak kan kau temui ujungnya Akan kau rasakan buai pusaran di sana Di sinilah.... Kataku sambil memukul dada Palung tak berujung Yogyakarta, 18 April 2016